part3
Ternyata Tuhan masih sayang kepadaku, aku masih di berikan kesempatan untuk bernafas menikmati udara didunia ini, yang walaupun menurut berita yang kubaca di koran udara kotaku ini memiliki tingkat polusi sudah di ambang batas normal dikarenakan banyaknya pabrik-pabrik tekstil dan meningkatknya jumlah kendaraan yang mengeluarkan asap-asap yang bermuatan karbondioksida tingkat tinggi, aku masih mencintai kota kelahiranku, kota yang damai, kota kecil yang di sebagian daerahnya masih banyak terdapat tanaman hijau yang ribun, tempat dimana aku lahir dan tumbuh besar, tempat yang tidak pernah mau aku tinggalkan walaupun hanya untuk beberapa hari, tempat yang membuatku bagaikan katak dalam tempurung, tempat yang memiliki banyak kenangan, kenangan masa kecilku sampai kenanganku ketika beranjak dewasa.
Aku ingat ketika aku masih kecil, hobbiku adalah memanjat pohon jambu didepan rumah lalu aku mengelantung di salah satu rantingnya dan membuat orang-orang dirumahku panik terutama nenekku yang selalu berteriak-teriak memintaku untuk turun, nenekku ini usianya sudah lumayan tua, menginjak usia 70an tapi masih terlihat garis-garis kecantikannya, berkulit putih bersih, selalu berkebaya dan berkain batik, kadang aku bertanya-tanya kenapa aku tidak mewarisi apa yang dimiliki oleh nenekku ketika nenekku masih muda, menurut orang-orang nenek dulu adalah kembang di kampungnya dan orang yang paling beruntung adalah kakekku, kakekku juga adalah sosok pria yang gagah dan ganteng yang bisa memperistri nenekku, kulihat foto nenek kakekku ketika masih muda masih tersimpanbaik dirumah pamanku. Menurut orang-orang aku tidak mirip dengan siapa-siapa, tidak mirip mamaku atau papaku bahkan dengan adik-adikku pun aku tidak mirip, pernah terlintas di kepalaku dan mulai bertanya kepada keluargaku, terutama nenekku menanyakan pertanyaan bodoh dengan menanyakan apakah aku adalah anak mama papaku atau bukan, tentu saja nenekku akan memarahiku karena aku terlalu mengada-ada.
Saat menginjak remaja aku tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak menyukai rok, pernak pernik wanita dan aku lebih tertarik dengan berkumpul bareng teman-teman lelakiku, bermain basket, panjat tebing dan hiking, aku lebih tertarik mengerjakan pekerjaan laki-laki daripada aku berkumpul bareng teman-teman wanitaku untuk makan bakso di kantin lalu merumpikan pria-pria popular di sekolahku, sunguh membosankan kupikir bila harus berkumpul bareng teman wanita-wanitaku yang pecicilan itu. Eka salah satu sahabatku, dia sahabatku dari mulai aku menginjak bangku SMP sampe kami akhirnya kami harus berada di SMU yang berbeda tapi aku tidak pernah kehilangan kontak dengannya, aku dan dia adalah 2 sisi mata uang yang sangat berbeda, Eka itu keibuan, anggun, sangat behave sedangkan aku adalah Dee yang tomboy, Dee yang tidak pernah perduli dengan penampilannya dan tidak pernah behave aku tidak pernah perduli dengan omongan orang-orang sekelilingku. Eka selalu mensupportku untuk berubah, untuk tidak terlalu cuek, untuk behave dan untuk belajar berdandan, satu hal yang sama sekali tidak menarik untukku, bahkan dia sering memarahiku kalau aku bermain basket atau panjat tebing tanpa menggunakan sunblock menurutnya kulitku semakin menghitam setiap harinya, pernah suatu hari dia membelikanku sunblock untuk aku pakai, tapi sunblock itu sama sekali tidak pernah ku sentuh hanya menjadi pajangan di toaletku saja.
Tak lama dokter menyuntikan cairan obat di infusku, oksigenku kembali dipasang dan alat-alat aneh yang semula di lepaskan kembali dipasangkan, aku mendengar dokter berbicara dengan papa mamaku, dokter meminta aku dibiarkan sendiri untuk beristirahat, kulihat di luar adik-adikku, sahabat-sahabatku dan beberapa kerabatku menunggu diluar ruang ICU wajah mereka tampak lesu, tampak sedih.
-- bersambung ke part4--
Aku ingat ketika aku masih kecil, hobbiku adalah memanjat pohon jambu didepan rumah lalu aku mengelantung di salah satu rantingnya dan membuat orang-orang dirumahku panik terutama nenekku yang selalu berteriak-teriak memintaku untuk turun, nenekku ini usianya sudah lumayan tua, menginjak usia 70an tapi masih terlihat garis-garis kecantikannya, berkulit putih bersih, selalu berkebaya dan berkain batik, kadang aku bertanya-tanya kenapa aku tidak mewarisi apa yang dimiliki oleh nenekku ketika nenekku masih muda, menurut orang-orang nenek dulu adalah kembang di kampungnya dan orang yang paling beruntung adalah kakekku, kakekku juga adalah sosok pria yang gagah dan ganteng yang bisa memperistri nenekku, kulihat foto nenek kakekku ketika masih muda masih tersimpanbaik dirumah pamanku. Menurut orang-orang aku tidak mirip dengan siapa-siapa, tidak mirip mamaku atau papaku bahkan dengan adik-adikku pun aku tidak mirip, pernah terlintas di kepalaku dan mulai bertanya kepada keluargaku, terutama nenekku menanyakan pertanyaan bodoh dengan menanyakan apakah aku adalah anak mama papaku atau bukan, tentu saja nenekku akan memarahiku karena aku terlalu mengada-ada.
Saat menginjak remaja aku tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak menyukai rok, pernak pernik wanita dan aku lebih tertarik dengan berkumpul bareng teman-teman lelakiku, bermain basket, panjat tebing dan hiking, aku lebih tertarik mengerjakan pekerjaan laki-laki daripada aku berkumpul bareng teman-teman wanitaku untuk makan bakso di kantin lalu merumpikan pria-pria popular di sekolahku, sunguh membosankan kupikir bila harus berkumpul bareng teman wanita-wanitaku yang pecicilan itu. Eka salah satu sahabatku, dia sahabatku dari mulai aku menginjak bangku SMP sampe kami akhirnya kami harus berada di SMU yang berbeda tapi aku tidak pernah kehilangan kontak dengannya, aku dan dia adalah 2 sisi mata uang yang sangat berbeda, Eka itu keibuan, anggun, sangat behave sedangkan aku adalah Dee yang tomboy, Dee yang tidak pernah perduli dengan penampilannya dan tidak pernah behave aku tidak pernah perduli dengan omongan orang-orang sekelilingku. Eka selalu mensupportku untuk berubah, untuk tidak terlalu cuek, untuk behave dan untuk belajar berdandan, satu hal yang sama sekali tidak menarik untukku, bahkan dia sering memarahiku kalau aku bermain basket atau panjat tebing tanpa menggunakan sunblock menurutnya kulitku semakin menghitam setiap harinya, pernah suatu hari dia membelikanku sunblock untuk aku pakai, tapi sunblock itu sama sekali tidak pernah ku sentuh hanya menjadi pajangan di toaletku saja.
Tak lama dokter menyuntikan cairan obat di infusku, oksigenku kembali dipasang dan alat-alat aneh yang semula di lepaskan kembali dipasangkan, aku mendengar dokter berbicara dengan papa mamaku, dokter meminta aku dibiarkan sendiri untuk beristirahat, kulihat di luar adik-adikku, sahabat-sahabatku dan beberapa kerabatku menunggu diluar ruang ICU wajah mereka tampak lesu, tampak sedih.
-- bersambung ke part4--
<< Home